Kisah bermakna di balik trophy kejuaraan umum kami.
Puncak trophy diambil dari satu elemen Tugu Golong Gilig, yaitu tugu yang dibangun pada tahun 1756 dan bertepatan satu tahun setelah Yogyakarta berdiri.
Tugu yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I ini bermakna semangat antara rakyat dengan rajanya. Di antara filosofi lainya adalah menunggaling kawula gusti, yang bermakna menyatunya manusia dengan kehendak Sang Pencipta
Motif sayap yang “membungkus” badan trophy menggambarkan Swiwi Peksi yang terdapat di lambang Kraton Yogyakarta, lambange gegayuhan inggil kayadene sumunul angkasa. Melambangkan cita-cita yang tinggi, setinggi langit
Elemen “Undak-undakan” sering ditemui di banyak bangunan tradisional Jogja, yang mengandung arti filosofis proses transendental, yaitu sebuah proses dalam setiap individu untuk meraih derajat yang tinggi, khususnya escara spiritual (Keagamaan). Proses ini berlangsung secara berkesinambungan sejalan usia manusia, dan hanya kematian saja yang menghentikannya.
Batik Kawung Yogyakarta, dengan motif klasik berbentuk lingkaran mirip buah aren, melambangkan kehidupan, kesederhanaan, dan kesatuan. Filosofinya mendalam, merepresentasikan harapan, kesuburan, dan keabadian. Batik ini menjadi simbol kearifan lokal, mengajarkan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Batik ini di ciptakan oleh salah satu Sultan Kerajaan Mataram 13 Abad yang lalu.
Motif tetesan air pada dudukan trophy, terinspirasi dari elemen Tugu Pal Putih Yogyakarta, melambangkan kejernihan dan kemurnian. Filosofinya menekankan pentingnya kejelasan tujuan dan kesucian hati dalam setiap tindakan. Motif ini menggambarkan kebijaksanaan dan keanggunan, khas dari nilai-nilai luhur Yogyakarta
Powered By 1SOUVENIR, Better Engagement